Pelanggaran Politik Uang Dalam Pendanaan Pilkada

    Pelanggaran Politik Uang Dalam Pendanaan Pilkada
    Ilustrasi

    PESAWARAN - Amanat UUD 1945 Pasal 18 ayat 4 bahwa “Gubenur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”, menjadikan landasan rakyat Indonesia untuk memperjuangkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pelaksanaan pilkada langsung secara teknis dimulai tahun 2005 paska disahkannya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

    Namun, Politik uang yang masih ditemukan dalam Pilkada diduga menjadi salahsatu penyebab biaya Pilkada yang harus dikeluarkan oleh calon Kepala Daerah menjadi sangat besar. Hasil kajian Litbang Kemendagri menunjukkan bahwa untuk menjadi Walikota/Bupati dibutuhkan biaya mencapai 20-30 Milyar, sementara untuk menjadi Gubernur berkisar 20-100 Milyar. Hal yang sama diungkapkan oleh Dadang S Mochtar (mantan Bupati Karawang), bahwa untuk menjadi Bupati di Pulau Jawa biaya politik yang harus dikeluarkan mencapai Rp. 100 Milyar. Bahkan biaya untuk menjadi Kepala Daerah lebih besar apabila dibandingkan dengan biaya menjadi anggota dewan yang hanya mencapai Rp. 300 juta - 6 Milyar. 

    Besaran biaya yang dibutuhkan tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki oleh para calon Kepala Daerah. Berdasarkan laporan LHKPN, rata-rata total harta kekayaan calon Kepala Daerah hanya mencapai Rp. 6, 7 Milyar. Bahkan terdapat 3 orang memiliki harta Rp.0, - dan 18 orang lainnya memiliki harta negatif. 

    Tjahyo Kumolo menyebutkan bahwa saudagar politik lah yang akan berada di belakang calon Kepala Daerah. Padahal menerima sumbangan dalam bentuk dana kampanye merupakan salah satu bentuk material dari benturan kepentingan. 

    Olehkarena itu transparansi dan akuntabilitas pendanaan pilkada termasuk di dalamnya proses memperoleh dana tersebut perlu diatur. Undang-undang telah mengatur mengenai tata cara pelaporan, dana kampanye, penerimaan sumbangan dana kampanye, dan pengeluaran dana kampanye. Peraturan juga telah melakukan pelarangan terhadap biaya mahar dan pembatasan terhadap dana kampanye. 

    Pendanaan kegiatan pilkada tahun 2015 dibebankan kepada Anggaran-anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pendanaan kegiatan tersebut didistribusikan kepada KPU melalui Hibah APBD. 

    Walaupun terdapat pernyataan bahwa pilkada serentak dibiayai oleh APBD, tidak dipungkiri bahwa calon Kepala Daerah tetap harus mengeluarkan biaya pribadi untuk mendanai proses pencalonan dirinya. 

    Biaya yang dikeluarkan mulai dari pencalonan di tingkat partai (biaya konsolidasi/biaya mahar, walaupun terdapat pelarangan biaya mahar, dll), kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, dan kegiatan kampanye lainnya yang tidak melanggar peraturan. 

    Selain dari itu calon kepala daerah juga harus mengeluarkan biaya saksi pada saat hari-H pemilihan berlangsung, rekapitulasi serta mengeluarkan biaya penyelesaian jika terjadi sengketa pilkada. 

    Dana pribadi yang harus dikeluarkan dalam proses pencalonan Kepala Daerah terutama dalam proses kampanye paslon, diperbolehkan didukung dengan sumbangan dari pihak lain. 

    Sumbangan tersebut bisa berasal dari Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon; dan/atau sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta. 

    Besaran sumbangan yang diperbolehkan oleh peraturan maksimal Rp50.000.000, 00 (lima puluh juta rupiah) untuk perseorangan dan maksimal Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) jika sumbangan berasal dari badan hukum swasta. Selain berupa uang, sumbangan dapat diberikan berupa pembiayaan dalam bentuk non uang untuk kegiatan Kampanye yang jika dikonversi berdasar harga pasar nilainya tidak melebihi batasan sumbangan dana kampanye yang ditetapkan. 

    Sumbangan dalam bentuk dana kampanye merupakan salah satu bentuk material dari benturan kepentingan. Benturan kepentingan yang tidak dikelola dengan baik dapat mengarah pada terjadinya tindak pidana korupsi. 

    Benturan kepentingan didefinisikan sebagai situasi di mana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. 

    Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah terdapatnya biaya yang signifikan harus dikeluarkan oleh pasangan calon namun tidak terdapat aturan yang memandunya serta penegakannya, misalnya biaya saksi pemungutan suara, dan biaya pencalonan/mahar kepada partai politik pengusung. 

    Hasil wawancara mendalam dengan salah satu paslon yang kalah dan dengan Panwaslu di salah satu kota menyebutkan : 

    “Biaya pilkada di luar kampanye signifikan nilainya terhadap total biaya pilkada yang dikeluarkan cakada. Biaya saksi bisa mencapai 2 Milyar. “ 

    “Biaya terbesar adalah mahar partai yang dihitung berdasar jumlah kursi di DPRD. Biaya yang dikeluarkan sangat berbeda antara paslon yang dipinang dan meminang (bayar mahar)”. 

    “Biaya mahar kepada partai masih terjadi, tapi tidak ada yang berwenang mengawasi. Panwas tidak memiliki kewenangan karena merupakan ranah internal partai". 

    Kriteria sumbangan dalam undang-undang disebutkan bersifat “tidak mengikat”. Namun anekdot bahwa “tidak ada makan siang gratis” diyakini oleh 56.3% responden. Mereka mengatakan bahwa sumbangan yang telah diberikan pasti mengharapkan balasan di kemudian hari. Hal tersebut diungkapkan secara jelas oleh 60, 2% responden. Sebagian besar dari responden akan membalas sumbangan yang telah diberikan/ memenuhi keinginan donatur (75.8%). 

    Empat harapan utama donatur saat menyumbang yang dipahami para cakada adalah kemudahan perijinan dalam bisnis (65.7%), kemudahan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah (64.7%), keamanan dalam menjalankan bisnis (61.5%) dan kemudahan akses untuk menjabat di pemerintah daerah/BUMD (60.1%). Harapan donatur terhadap paslon yang terpilih dan adanya kemungkinan kesepakatan dari paslon terpilih untuk memenuhi harapan donatur tersebut harus menjadi fokus perhatian dalam mengidentifikasi benturan kepentingan paslon yang menang terhadap penyumbang. Hal tersebut dikarenakan benturan kepentingan yang tidak dikelola dengan baik dapat mengarah pada terjadinya tindak pidana korupsi. 

    Banyak kasus yang ditangani KPK selama ini dilatarbelakangi oleh benturan kepentingan. Praktik benturan kepentingan yang terjadi tidak hanya berdampak pada kerugian negara, tetapi juga menciderai nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan mengganggu kualitas kesejahteraan sosial masyarakat. 

    Dengan kata lain, konflik kepentingan tidak hanya akan berpotensi merugikan bangsa secara material tetapi juga immaterial dan mengganggu pencapaian cita-cita bangsa/nasional.(Agung)

    Pesawaran
    Agung Sugenta Inyuta

    Agung Sugenta Inyuta

    Artikel Sebelumnya

    Wujud Nyata Paslon Bupati Pesawaran Nomor...

    Artikel Berikutnya

    Antisipasi Dampak RUU Cipta Kerja, Polsek...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Bakamla RI Berikan Pertolongan Medis ABK KM Lintas Samudra 2 di Perairan Natuna
    Cegah Paham Radikalisme, Polri Tekankan Pentingnya Upaya Kontra Radikal 
    Hendri Kampai: Jika Anda Seorang Pejabat, Sebuah Renungan dari Hati ke Hati
    Hendri Kampai: Indonesia Baru, Mimpi, Harapan, dan Langkah Menuju Perubahan
    Kapolri-Panglima TNI Tinjau Kesiapan Program Ketahanan Pangan di Jawa Tengah

    Ikuti Kami